Hanya Skenario
Hallo..
Kali
ini saya akan menceritakan sebuah cerpen yang menurut saya bisa di ambil hikmahnya. Banyak
hikmah yang dapat di ambil dari cerpen ini. Ambil hal yang positif dan buang
jauh-jauh hal negative. Semoga bermanfaat dan selamat membaca ya…
Hanya
Skenario
Nama
ku Aya. Aku sedang kuliah di semester 5. Terkadang aku muak dengan kata
“KULIAH”. Banyak pandangan tentang seorang Mahasiswa yang terkadang membuatku
ingin menangis dibuatnya. Bukan aku tak suka tetapi aku membencinya. Tapi,
anehnya sampai saat ini pun aku masih menyandang nama itu. Ya cukuplah aku
anggap diriku masih SMA bukan sedang kuliah meskipun memang tingkatan belajar
nya sangatlah berbeda.
Aku
seorang mahasiswa yang bisa dibilang mendapat gelar sebagai “KUPU-KUPU” alias
kuliah-pulang kuliah pulang. Aku bukannya tak mau menjadi seorang aktivis
tetapi bagiku itu sangatlah melelahkan dan membuang waktu. Aku lebih suka
dirumah, beberes rumah dan hal lain sebagainya seorang wanita. Rumahku adalah
syurgaku. Mungkin kalimat itu sangatlah cocok bagiku. Fokusku ada pada rumah.
Nyaman dan tenang pun ada pada rumah.
Akan
aku ceritakan sedikit awal kenapa aku bisa kuliah.
Waktu di kelas 12, semua siswa pintar dikelasku
sibuk mempersiapkan pendaftaran kuliah lewat jalur Undangan atau SNMPTN. Dan
aku tak tertarik sedikitpun mengenai kuliah, karna pribadiku sendiri aku hanya
ingin ke pondok pesantren mencari ilmu untukku di akhirat. Tetapi pamanku
ternyata mendaftarkan ku. Dan aku hanya bisa bilang “iya”. Aku yakin aku takkan
diterima. Toh, aku pintar saja pas-pasan dan nilai raporku pun pas-pasan, mana
ada kampus yang mau menerima ku. Pikirku seperti itu.
Hingga akhirnya datang pengumuman itu, aku tak tahu
apa-apa dan aku tak menunggu pula waktu itu. Aku sangat ingat sewaktu malam aku
sedang bersantai dengan kakak ku. Berita pengumumanpun tiba dan air mata ku
merembes deras. Ya, aku ternyata diterima di salah satu kampus daerah Jakarta
dengan pilihan jurusan kedua. Aku bukan senang, aku sangatlah sedih sebab aku
sudah pasrah, jika memang aku diterima kuliah maka aku akan melanjutkannya demi
kebahagian ibuku yang ingin melihat anaknya menyandang gelar sarjana. Dan itu
artinya rencana mondok kandas kembali untuk yang kesekian kalinya.
Hari demi hari kuliah ku jalani dengan mencoba terus
ikhlas dan sabar. Sampai di puncak akhir semester 4 aku sudah tak kuat rasanya
dan rasa ingin mondok menggebu kembali. Sudah ku rencanakan semuanya. Aku hanya
tinggal menunggu akhir semester ini selesai.
Aku sudah menentukan pilihan bahwa aku akan nekad
berhenti kuliah dan fokusku di pondok ingin menjadi seorang hafidzah. Biaya
mondok memang tidak murah, tetapi aku mencoba untuk mengumpulkannya.
Akhir semester pun tiba. Aku sudah menentukan salah
satu pondok pesantren di daerah Malang. Aku mencari informasi tentang pesantren
itu lewat web di google, dan di web tersebut tersedia kolom komentar. Aku pun
menulis komentar desertai dengan nomor handphone ku. Siapa tau ada yang mau
berangkat bareng kesana denganku.
Di akhir semester ini, hanya beberapa temanku yang
tahu akan rencanaku ini. Mereka meyakinkanku apakah sudah yakin dengan
keputusan ku ini, dan aku menjawabnya dengan sangat yakin, bahkan aku sudah tak
sabar rasanya. Hari terakhir kuliah sebelum libur, aku tak ingin ada kata
perpisahan sebenarnya tetapi teman ku malah mengucapkan perpisahan dengan
linangan air mata. Terharu memang tapi aku harus kuat. Dan aku sudah
mendapatkan 4 orang yang akan berangkat bersama kesana.
Seminggu sebelum menuju hari H. Semua perlengkapan
untuk mondok sudah ku persiapakan. Mulai dari pakaian, peralatan mandi, tiket
kereta yang dipesan sebulan yang lalu dan hal lainnya yang sekiranya harus
dibawa. semuanya menjadi satu koper besar dan satu kardus berukuran kardus mie
instant.
Aku tahu bahwa rencana ku ini takkan ada kata
berjalan dengan mulus. Pasti akan banyak sekali rintangan yang harus ku hadapi.
Aku baru memberitahu keluargaku bahwa aku akan pergi ke Malang untuk mondok
tiga hari sebelum keberangkattan. Dan aku tidak memberitahu mereka bahwa aku
akan berhenti kuliah.
“Lalu bagaimana dengan kuliah mu nak kalau kamu
mondok?” tanya ibu padaku.
“Aya Cuma mau ngisi liburan di pondokan aja ko bu”
jawaban ku selalu seperti itu jika ditanya tentang kuliah. Pikirku jika
memberitahu disaat aku belum berangkat sudah pasti aku tidak akan di izinkan.
Nanti saja jika aku sudah ada di pondok aku akan memberitahu mereka bahwa aku
tidak mau kuliah lagi. Salah memang, tetapi ini menurut ku cara yang terbaik.
Keluarga ku mungkin kaget karna mereka kira aku
berangkat kesana karena memang kegiatan dari kampus makanya mereka tenang-tenang
saja. Di saat aku menjelaskan bahwa itu adalah diluar kampus, konflik pun mulai
berdatangan. Mulai dari kakak sulungku yang mencari tahu tentang pondok
pesantren itu dan merundingkan dengan keluarga juga saudara-saudaraku. Aku
menangis dan mengurungkan diri di kamar, karna aku malu kalau harus di omongin sama banyak orang
seperti itu. Aku tak ingin banyak orang tahu bahwa aku akan pergi jauh.
Hari ketiga sebelum berngakat menjadi hari mendung
bagiku. Sudah nangis dan pikiranpun melayang kemana-mana. Baiklah, aku akan
jujur sejujurnya hari esok pada orang tua ku. Aku sudah pasrah dan tak akan
membantahnya.
Pagi hari yang cerah menyinari dunia. Cuacanya panas
seperti hatiku yang mulai memanas ingin berbicara. Ini adalah hari kedua
sebelum keberangkatan. Aku mulai masuk ke kamar bapakku. Tak lama kemudian
adikku mengikuti.
“Bagus kalau Aya mau mengaji. Niatkan semuanya lurus
hanya untuk Allah dan untuk mencari ilmu. Biar selama liburan ada ilmu yang di
dapat dan menjadi berkah. Bapak ridho kalau Aya mau kesana. Asal jaga diri dan
disana focus mengaji. Kan Aya kuliah, gak mungkin kan Aya berhenti kuliah. Udah
dua tahun Aya kuliah, udah banyak biaya yang dikeluarin buat kuliah. Tinggal
dua tahun lagi kan buat lulus. Nanti kalo setelah Aya lulus kuliah mau mondok
lagi pun terserah Aya. Aya kan sudah besar, sudah bisa menentukan pilihan. Aya
bukan anak kecil lagi kan?”
Air mata yang tak bisa ku bendung mengalir begitu
deras. Aku tak sanggup menjawab pertanyaan Bapak. Ucapan Bapak seakan-akan
sudah tahu apa yang sedang ku rencanakan. Aku malu menangis di hadapan bapak
dan di lihat pula oleh adikku. Aku berusaha tegar tetapi air mata mengalir
dengan sendirinya. Yang penting sudah cukup bagiku mendapat ridho orang tua
untuk pergi kesana. Karna tanpa ridho semuanya akan sia-sia.
Hati yang tadinya mendung sudah mulai cerah kembali
perlahan-lahan. Tidurku sangatlah nyenyak karna mungkin aku akan rindu sekali
dengan semua yang ada dirumah ini. Memulai pagi hari dirumah terasa indah,
karna esok aku tidak menikmati pagi dirumah lagi, tetapi jauh berada disana.
Ku lihat Bapak sedang membuat kopi. Dan menatapku
saat aku pun sedang ada di dapur. Dari raut wajahnya ku melihat ada rasa ke
khawatiran dan cemas. Tetapi Bapak hanya diam saja. Setelah selesai menuangkan
air panas ke dalam gelas, bapak mulai berbiacara.
“Ay, apa Aya udah nekad buat kesana?”
“Memangnya ada apa Pak?” bukannya menjawab tetapi
aku malah balik tanya, karna rasa penasaranku.
“Bapak ko ragu ya pondokan disana. Bapak istikharah
semalam, pondokannya kurang bagus. Ada aliran-aliran sedikti melenceng gitu.
Aya pindah pondokan saja ya. Tiket kereta berapa memang harga nya?”
“120ribu Pak harganya. Yasudah nanti Aya coba tanya
pak bisa di balikin lagi atau tidak uangnya” jawabku lemas.
“Yasudah, gak apa-apa hangus juga uangnya. Yang
penting gak usah berangkat kesana ya”
Sudah mulai
ku duga hal ini pasti akan terjadi. Mau tak mau aku harus bilang iya, karna
nekad pergi sekalipun ridho dari orang tua sudah tak ku dapatkan kembali. Meski
air mata ini kembali menetes tapi kali ini aku tahan dengan sekuat tenaga. Aku
berusaha tenang. Meski ini adalah hari paling sangat ku tunggu setelah
penantian panjang berbulan-bulan yang lalu. Aku mencoba tersenyum dan ikhlas.
Semua teman yang akan berangkat kesana pun kaget dan sedih. Terlebih aku yang
teramat sedih.
Sebanyak apapun uang yang telah ku kumpulkan untuk
kesana, takkan bisa membeli ridho-nya orang tua. Menangis selama apapun takkan
bisa meluluhkan hati jika ridho dari orang tua tak di dapatkan. Sebanyak apapun
ilmu yang di dapatkan jika tidak dengan ridho-nya pun tak akan berkah dan
bermanfaat.
Sepuluh hari setelah kejadian kegagalan itu terjadi.
Aku masih saja memikirkan dan membayangkan teman-temanku yang disana. Pastilah
mereka sangat bahagia dan senang berada disana. Aku hanya dapat mendoakan
mereka dari sini. Ku pun mengharapkan mereka mendoakan ku agar aku dapat pula
menyusulnya kesana.
Ku mulai melihat-lihat status whatsapp di layar
handphone ku. Dan seketika aku terkejut dengan status teman ku yang berada di
pondok bahwa mereka berpamitan akan pulang dengan santriwati lainnya. Ada apa
dengan mereka? Kenapa mereka pulang berjam’ah? Ada acara apa mereka sampai
pulang secepat ini? Apa yang sudah terjadi?
Aku sangat penasaran sekali dengan mereka. Aku
menanyakan satu persatu teman ku itu apa yang telah terjadi. Tapi mereka
sangatlah lama sekali membalas pesanku. Hingga akhirnya aku menemukan
jawabannya.
“Kita gak betah disana. Jauh dari ekpektasi yang
kita bayangkan dan kita baca di web itu. Ternyata yang tertera di web itu
adanya di tempat santri lelaki, tetapi untuk tempat santriwati bisa dibilang
gak cocok di jadikan sebagai tempat untuk Tahfidz. Dari segi tempat, pengajar
dan lainnya. Kita gak cocok. Dan akhirnya kita semua sepakat untuk keluar.
Beruntunglah kau Ay tak kesana. Tidak menjadi korban hahaha”
Dari sini ternyata aku mendapatkan pelajaran. Bahwa
jika aku nekad membantah orang tua dan tetap pergi, mungkin aku akan menjadi
orang yang merugi. Aku akan menghabiskan banyak uang yang terbuang sia-sia jika
tetap kesana. Dan penyesalan yang akan terus terbayang ata pilihan yang salah
Kita sebagai manusia hanya bisa berencana,
selebihnya Allah lah yang menentukan. Meskipun kita kecewa dan sedih atas apa
kegagalan yang telah kita rencanakan dengan sematang mungkin, tetapi jika Allah
berkhendak lain, ya mau bagaimana lagi. Kita tidak bisa membantah atau
menyalahkan bukan?. Allah selalu kasih skenario yang lebih indah dan lebih baik
juga yang terbaik di banding skenario yang kita tulis. Dalam hidup pasti banyak
sekali hikmah yang bisa di dapat setiap kejadian yang kita alami. Hanya saja
bagaimana kita bisa menyikapi dan mengambil hikmah itu untuk menjadi kan diri
kita lebih baik lagi. Cukup sabar, ikhlas dan terus bersyukur itu kunci
kebahagiaan.
“Kamu sih Ay, pilih nya ke Kota Malang, jadinya
Malang kan nasibmu” di pikir-pikir iya juga ya hehe.
Inilah
sedikit cerita yang mungkin diantara kalian ada mengalami kejadian yang sama. Petik
hikmahnya dan buang negatifnya. Terimakasih sudah membaca. Semoga bermanfaat ya
:)
6 comments
whihi sms dr siapa itu?😂
ReplyDeleteridho orang tua memang diatas segalanya, jgn bergerak kalau tdk mendapat ridho. di zaman sekarang, seringkali anak muda mengesampingkan orang tuanya utk terlibat dlm hidupnya, beruntunglah kita yg suka mendahulukan orang tua diatas kepentingan pribadi.
cerpen yg inspiratif, aku sukaaaa💙
Ini kayanya cerita tentang dirimu sendiri da😅
ReplyDeleteJadi inget aku yang ngomong gitu "kamu sih salah pilih kota, harusnya jangan Malang. Kan jadi malang nasibmu" 😂😂😂😂
ReplyDeleteKisahnya sama :') tapi udah gak tahan ama dunia kampus
ReplyDeleteTerus gimana? Jadi mondok dimana?
ReplyDeleteMashaAllah. Persis sperti yg saya alami saat ini. Hanya saja saya blm memutuskan akan lanjut kuliah atau tidak.
ReplyDelete